Zakat, Regulasi Setengah Hati.

Senin, 09 Februari 2009

Zakat, Regulasi Setengah Hati.

Salah satu keistimewaan zakat pada masa kini adalah tingginya kesadaran
masyarakat akan pentingnya pelaksanaan rukun Islam kelima itu.
Sedemikian tinggi kesadaran itu sehingga banyak orang yang merasa sudah
mampu berzakat, berinisiatif mendistribusikannya sendiri kepada para
mustahik. Dengan menggunakan cara ala BLT (Bantuan Langsung Tunai) para
muzakki dengan “pe-de”nya mengumpulkan masyarakat dan berniat
membagikannya langsung. Ditengah kesulitan ekonomi yang tengah melanda
sebagian besar rakyat, juga didorong pemenuhan keperluan lebaran, zakat
ala BLT itu tentu amat menarik. Akibatnya, seperti yang diberitakan
media massa, pembagian zakat ala sinterklas seperti itu selalu menuai
kericuhan, bahkan kehilangan nyawa, seperti yang terjadi di Pasuruan
bulan puasa lalu.

Bicara tentang zakat berarti bicara tentang
perut, alias kebutuhan hidup. Jika perut sudah bicara maka seringkali
kepribadian menjadi hilang. Jika kepribadian sudah hilang, maka hukum
rimbalah yang berlaku; siapa kuat, dia berkuasa. Dalam konteks
distribusi, siapa kuat, dialah memperoleh yang terbanyak. Karenanya
pengaturan tentang hal itu adalah sebuah keniscayaan. Karena zakat
berbicara tentang mobilisasi (pengumpulan) dan distribusi, maka
pengaturan di kedua sisi pun harus dilakukan.

Undang-undang
mengenai Zakat saat ini (UU No. 39 tahun 1999 tentang Pengelolaan
Zakat) hanya mengatur tentang pengelolaan. Definisi zakatnya sendiri
hanya merujuk kepada kewajiban warga negara kepada agama, yang
memberikan kesan tidak ada keterkaitan dengan kewajiban negara.
Artinya, saat ini negara seperti tidak punya kewajiban untuk mewajibkan
zakat kepada para muzakki, sebagaimana kewajiban itu dikenakan kepada
para wajib pajak. Dengan kata lain, kewajiban zakat bagi warga negara
yang muslim adalah bersifat sukarela dan hanya wajib apabila dianggap
wajib oleh pembayarnya. Padahal, secara filosofis, semua yang
menyangkut hajat orang banyak, negara memiliki kewajiban yang sama
dalam melaksanakannya. Khusus dalam soal zakat, Quran secara
terang-terangan nyuruh pemerintah untuk mengambil zakat dari para
aghniya. Konsekwensinya, kalau tidak membayar, negara berhak meminta
secara paksa.

Selain itu, undang-undang ini juga seperti jaring
yang amat longgar. Pembayaran zakat tidak diatur (tidak diwajibkan)
melalui lembaga tertentu. Maka tidak heran jika kasus Pasuruan akan
kembali terjadi di masa yang akan datang. Semestinya ada pengaturan
yang mewajibkan pembayaran zakat dilakukan kepada lembaga tertentu.
Sekarang ini orang boleh membagikan sendiri zakatnya, ataupun melalui
amil zakat. Amil zakatpun bisa plat merah (pemerintah, BAZ) dan bisa
swasta (LAZ, Lembaga Amil Zakat). Akibatnya pada tingkat tertentu
terjadi persaingan (kadang-kadang kurang sehat) antara Badan Amil Zakat
dengan Lembaga Amil Zakat dalam upaya merebut “pangsa muzakki”.
Persaingan ini bisa saja diperlukan untuk memaksimalkan mobilisasi
zakat dan distribusinya, terutama ketika terjadi bencana alam.
Persoalannya, untuk masyarakat yang masih tradisional, kelembagaan
zakat seperti tidak diperlukan, karena mereka merasa mampu untuk
mendistribusikannya sendiri. Faktor ini kemudian terkait dengan
kepercayaan kepada lembaga zakat.

Idealnya, amil zakat
memiliki jejaring secara nasional. Hal ini dibutuhkan terutama untuk
tujuan pemerataan di wilayah hukum Indonesia dimana kaum muslimin
berada. Jika ekonomi nasional belum memiliki sistem pemerataan, maka
semestinya zakat sudah mendahuluinya melalui infrastruktur para amil
zakat. Dengan demikian surplus zakat yang ada di sentra ekonomi
perkotaan dapat menetes ke daerah yang masih dikategorikan defisit
(minus). Kadang-kadang kondisinya malah terbalik. Lembaga amil zakat
amat sibuk mengurus kondisi di luar kota, sehingga masyarakat miskin
sekitarnya tidak memperoleh manfaat dari zakat yang justru dibayar oleh
masyarakat kota itu sendiri kepada lembaga zakat.

Lain
mobilisasi, lain pula distribusi. Undang-undang zakat tidak menyebutkan
tentang distribusi. Bisa jadi semuanya mafhum bahwa sasaran mustahiknya
(ashnaf) telah disebutkan dalam Alquran. Tetapi, sebagai sebuah
undang-undang, UU zakat seyogyanya memiliki fungsi standarisasi. Dengan
demikian urusan asnaf tidak dapat diserahkan kepada perdebatan
mazhab-mazhab fiqih. Persoalan yang muncul bukanlah asnaf itu diberikan
haknya atau tidak, tapi bisa jadi definisi tentang ashnaf yang tidak
standar. Misalnya batasan antara fakir dan miskin yang tentu perlu
diberikan rumusan standar. Lalu kontekstualisasi (interpretasi) asnaf.
Apakah ibn sabil dapat diartikan sebagai beasiswa untuk para mahasiswa
seperti yang kini tengah populer? Apakah pemberian harta zakat termasuk
juga berarti memberi jasa kesehatan gratis bagi 8 asnaf? Jika amil
zakat dibenarkan membeli ambulan atau membangun rumah sakit dari dana
zakat, lalu aset itu diakui sebagai apa? Yang terakhir ini tengah
dibahas oleh Ikatan Akuntan dibawah entri besar bernama Standar
Akuntansi Keuangan Pengelola Zakat.

Sebagian kecil persoalan
yang disebut di atas kiranya cukup menjadi justifikasi perlunya ada
regulasi-regulasi lain selain undang-undang Zakat dan peraturan
pemerintah. Oleh karena itu peraturan daerah tentang zakat yang
membahas persoalan lokal bukan saja mungkin, tapi harus dibuat. Apalagi
jika melihat bahwa daerah-daerah di Indonesia cenderung bercorak
special area alias daerah khusus dengan keunikan tersendiri. Misalnya
daerah yang memiliki hasil bumi yang khusus seperti sagu, coklat
(cocoa) dan emas, memerlukan peraturan tertulis khusus mengenai zakat.
Untuk daerah industri seperti Bekasi, zakat profesi dan zakat lembaga
perlu pengungkapan khusus yang tertulis dalam peraturan.

Persoalan
terbesar di Indonesia yang menyangkut kelembagaan (baca birokrasi)
adalah public accountability yang tidak pernah berhasil ditanamkan di
masyarakat. Mengapa? Fenomena bahwa lembaga berbau pemerintah pasti
korup telah terbentuk selama 30 tahun dan tidak mudah dihilangkan
dengan mudah. Gerakan reformasi yang seharusnya mengubah fenomena itu,
bukannya memperbaiki, tapi malah menambah kerusakannya. Sehingga ketika
rakyat berusaha diyakinkan bahwa zakat itu harus disalurkan melalui
pemerintah, sudah pasti menunjukkan resistensinya. Tentu mereka berhak
ragu bahwa zakat yang mereka berikan melalui lembaga itu akan sampai ke
tangan yang berhak. Solusi terhadap masalah ini adalah tata kelola yang
baik (good corporate governance ). Dalam Undang-undang zakat, masalah
ini hanya sedikit disinggung, yaitu soal pengawasannya. Padahal masalah
pengelolaan zakat bukan hanya soal pengawasan tapi juga masalah
transparansi, akuntabilitas, keadilan (fairness) dan tanggungjawab
(responsibility). Tanpa pengaturan yang baik dalam keempat aspek ini,
jangan diharap kredibilitas para pengelola zakat, pemerintah atau
swasta, akan memperoleh kredibilitas yang baik dari masyarakat.
Maklumlah, mereka juga manusia.

Wallahu A’lam.