Demokrasi kotak-kotak

Kamis, 12 Februari 2009

Demokrasi kotak-kotak

Para penghayat demokrasi di Indonesia, disat-saat sunyi menjelang tidur, sering tertawa-tawa sendiri. Tingkat kepelikan proses demokratisasi pada kehidupan bangsanya sudah melampaui puncak kepusingan ilmiah dan kegetiran nurani, sehingga tahap yang terjadi kemudian adalah perlunya kesanggupan untuk mengkomedikannya – agar jiwa tetap plastis, pikiran kembali jernih, dan tyenaga tidak berputus asa.
Para pejuang demokrasi di negeri ini air matanya habis terkuras oleh tangis dan tertawa geli berkepanjangan. Mereka berdomisili di rumah-rumah hantu yang lorongnya gelap, berliku-liku dan selalu buntu di ujungnya. Kalaupun tak buntu, mereka kaget karena langkahnya ternyata tiba kembali ke tempat yang itu-itu juga.
Proses demokratisasi di negeri ini jalannya licin. Maka hati-hatilah jangan sampai terpeleset. Kalau sekedar terpelweset sedikit dan lumpur mengotori celana dan bajumu deengan tulisan “pembangkang”, “dissident”, “wts” ( Waton Suloyo ), “layak Cekal”, atau apalagi sekedar “orang cemburu social”, masih lumayan. Tapi kalau karena terpeleset sampai kaki politikmu terserimpung, tangan ekonomimu terkilir, atau bahkan kepala sejarahmu gegar otak, celakalah engkau. Mungkin itulah sebabnya banyak orang menunggu ppensiun dulu untuk memperjuangkan demokratisasi.
Para penghayat dan pejuang demokrasi di negeri ini tak sekedar harus berkepribadian tahan banting, berwatak ayam kampong yang merdeka dan eksploratif, serta memiliki plastisitas kesaktian yang memungkinkannya tetap tegar sesudah terjepit, tertindih, dan tercampak. Mereka harus memperjitungkan momentum sejarah yang tepat, dengan melontarkan isu demokrasi untuk suatu “ Dzikir Zaman”. Agar makin banyak orang mengingat-ingat demokrasi. Agar alam pikiran demokrasi menjadi bagian dari iklim.
Para penghayat dan pejuang demokrasi, dengan segala kekurangan dan keterjebakannya sendiri oleh ekspressi yang mungkin justru tidak demokratis, selalu dibutuhkan oleh setiap cita-cita peradaban yang sehat dan dewasa. Penghayatan dan perjuangan demokrasi dilarang oleh Tuhan untuk distop, karena hanya dengan melalui “terminal” demokrasi sebuah bangsa bisa melanjutkan perjalanannya menuju nilai kebenaran yang lebih tinggi.
Betapa mulia demokrasi, sehingga para penghayatnya mengerti bahwa itu bukan segala-galanya. Kebanyakan kaum penguasa terjebak oleh dimensi benere dhewe . lahirlah otoriatarianisme, subyektivisme monopoli, dan kesepihakan. Kita tahu betapa mahal ongkosnya, berapa juta orang menderita, dimiskinkan, dihukum tanpa kesalahan, dibodohkan, diambangkan nasibnya.
Aspirasi ide demokrasi memancar ketika orang menapaki dimensi Yng lebih tinggi, benere wong akeh, benarnya orang banyak. Lahirlah pemimpin, yang sama sekali tak bisa disamakan dengan penguasa atau pemerintah. Pemimpin mengunggulkan kebenaran milik orang banyak dan menomorduakan kepentingan diri atau golongannya sendiri. Pada level aspirasi inilah national concern ditanamkan, undang-undang dan konstitusi dirakit, dan segala tata etik dan birokrasi disusun.
Betapa luhur kesediaan kita semua untuk bergabung dalam suatu integrasi nasional, kita “bersembahyang” mengabdi kepada kebenaran nasional, kebenaran orang banyak. Tapi seandainya pun tata kenegaraan dan tata kebangsaan pada level itu sepenuhnya telah bias diterapkan, kita semua tahu bahwa itu bukan jaminan. Di negeri-negeri yang demokrasinya sukses pun, anggota masyarakatnya ternyata memerlukan dimensi lain yang lebih tinggi, lebih mendalam, dan sejati. Kemerdekaan dan hak asasi adalah senjata utama peradaban yang dewasa.
Maka, terminal berikutnya yang selayaknya dipelajari oleh naluri setiap manusia, oleh lembaga-lembaga ilmu, oleh akal budi dan system-sistem sejarah, adalah bener sing sejati , kebenaran yang sejati. Itu membutuhkan bukan hanya kerendahhatian, keterbukaan, inovasi, dan rasa belum tahu terus menerus. Tapi juga kebenaran untuk menyongsong kelahiran baru, kesadaran universal yang menjadi persawahan utama bagi setiap tanduran demokrasi.
Namun, kesadaran universalitas inipun bisa menjebak penghayat demokrasi dalam proses perjuangannya. Kesadaran semacam itu membayangkan suatu padang amat luas bertepikan horizon, tanpa sekat-sekat. Padahal, demokrasi adalah kedewasaan pergaulan antar penghuni sekat-sekat.
Persoalannya bukan bagaimana membongkar sekat-sekat, melainkan bagaimana meperjuangkan kesadaran dan kesepakatan agar pada setiap dinding sekat itu dibuat “pintu-pintu butulan” untuk saling mempergaulkan kasih dan kedewasaan. Agar angin segar demokrasi terdistribusi ke seluruh ruangan.
Ketika seorang pejuang demokrasi melontarkan isu “sektarianisme”, secara ilmiah ia terjebak pada rekomendasi penyeragaman. Dan apabila hal itu dibarengi dengan ketidaksabaran menyaksikan sekat-sekat, sehingga menumbuhkan subyektivisme dan kesepihakan tersendiri, maka lontaran “Kamu Sektarianistik” bisa bernuansa sama dengan ketika pihak lain melontarkan kutukan-kutukan “dissident”, “kafir”, “tidak Islami”, “anti Pancasila” dan seterusnya.
Para penghayat dan pejuang demokrasi adalah orang-orang mulia yang diberi kesempatan oleh Allah melalui pilihan perjuangannya untuk senantiasa belajar tidak berkata “ Kalau kamu tidak ikut demokrasi, awas! Nanti saya kutuk! Tidak saya tegur!” mereka berperang melawan ringkihnya infrastruktur budaya dan mentalitas masyarakatnya untuk sanggup menanam dan menyirami tetumbuhan demokrasi. Itu lebih dahsyat disbanding dengan hardware subyektivisme kekuasaan yang juga merupakan kendala berlangsungnya demokrasi.
Betapa panjang dan licin perjalanan para penghayat dan pejuang demokrasi itu. Ia bisa terpeleset-peleset.
Tetapi tetaplah kita mengerti betapa mulia para penghayat dan pejuang demokrasi. Ketika Mahkamah Konstitusi membatalkan pasal 214 UU politik thn 2008, saya melonjak-lonjak seperti anak kecil. Sya meras tiba-tiba berada disebuah Negara demokrasi. Kemudian saya omong sebebas-bebasnya, meskipun kemudian insyaf kembali untuk tetap memelihara kepandaian menjahit mulut saya.